Ini Daftar Perbedaan PPDB dan SPMB

Menteri Dikdasmen, Abdu Mu'ti memastikan ada perbedaan dalam PPDB dan SPMB. Perubahan aturan ini setelah kajian dan penelitan kementerian tersebut. (doc/instagram @abe_mukti)

JAKARTA – Aturan tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dan SPMB (Sistim Penerimaan Murid Baru) tentu ada perbedaan. Tidak hanya pada penggunaan prasa ataupun kata. Tapi pada konsep dasar dan substansi aturan tersebut.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti mengatakan, kementerian sudah merancang aturan menteri tentang SPMB. Pada dasarnya, SPMB, tidak terlalu banyak perbedaan dari PPDB. Pemerintah pernah menerapkan dan menggunakan kata SPMB sebelum berubah menjadi PPDB pada 2017.

Meski seperti kembali ke pola lama, Mu’ti membantah kalau aturan ini hanya berganti nama tanpa ada perbedaan mendasar antara PPDB dan SPMB.

Dia berdalih, aturan terbaru ini setelah melalui evaluasi dan penelitian panjang sejak penerapan PPDB pada 2017.

“Saya kita tidak sama. Kalau sama, kenapa diganti?,” katanya

Dia menjelaskan beberapa detail perbedaan antara PPDB dan SPMB. Terutama pada sistim untuk SMP. Seperti penambahan prosentase untuk siswa kurang mampu dan difabel melalui jalur afirmasi. Lalu adanya perubahan zonasi menjadi domisili agar memudahkan siswa.

Untuk jalur prestasi, kementerian menambahkan poin terbaru untuk siswa berprestasi di bidang non akademik. Yakni peluang bagi pengurus OSIS untuk masuk melalui jalur prestasi.

“Selama ini, prestasi non akademik hanya ada dua yaitu olah raga dan seni. Nah ditambah jalur kepemimpinan. Jadi Mereka yang aktif jadi pengurus OSIS, pramuka dan lain lain, akan jadi pertimbangan,” terangnya.

Mu’ti memastikan, tidak ada perubahan untuk penerimaan siswa SD. Kementerian melihat aturan lama sudah sangat bagus dan memaksimalkan penerimaan siswa baru.

“Untuk SD tidak ada perubahan,” katanya.

Dia menambahkan, akan ada lampiran di aturan tersebut dan berisi cara menghitung prosentase. Tujuannya agar tidak lagi ada perbedaan penafsiran atas aturan SPMB. Termasuk adanya transparansi data dan daya tampung sekolah negeri.

“Maka masyarakat akan bisa menilai punya kans berapa persen dia bisa masuk sekolah itu hingga dia bisa ke sekolah lain atau ke sekolah di daerah tertentu,” katanya. (*)