google.com, pub-1231591869164649, DIRECT, f08c47fec0942fa0
News  

Jamasan Pusaka di Istana Tijani Nusantara, Merangkai Sejarah dan Tradisi

Jamasan benda pusaka di Istana Tijani Nusantara, Senin (21/7/2025). Jamasan ini sebagai simbol menjaga tradisi, ikatan dengan leluhur sekaligus ucapan terima kasih kepada pembuat benda pusaka. (bercahayanews.com)

CILACAP – Bertepatan dengan bulan Suro atau Muhamarram, seluruh pusaka di Istana Tijani Nusantara menjalani prosesi jamasan. Tujuannya untuk merawat pusaka bersejarah yang telah berumur puluhan atau ratusan tahun tersebut.

Jamasan untuk pusaka yang ada di Istana Tijani Nusantara, melibatkan 3 orang penjamas, Senin (21/7/2025). Mereka membersihkan benda pusaka berupa keris, tombak dan kereta kencana. Perawatan benda pusaka ini agar selalu dalam kondisi baik, mengingat sudah ada sejak era Mataram.

Pemimpin Tarekat Tijaniyah di Cilacap, Awan Ukaya menyebut kalau jamasan benda pusaka di Istana Tijani Nusantara merupakan tradisi. Ini sebagai bentuk penghormatan, terima kasih kepada leluhur yang sudah membuat benda pusaka ini dan masih ada hingga sekarang.

“Itu adalah tradisi, Bentuk rasa terima kasih,” katanya.

Dia mencontohkan keris yang ada di Istana Tijani Nusantara. Keris tersebut hasil karya seorang empu, lalu menjadi milik seseorang yang mulai seperti bangsawan atau bahkan raja.

“Dipakai oleh raja kemudian sampai ke tangan kita. Nah ini tuh kita hormati benda ini bukan kita menyembah bendanya. Tetapi menghormati leluhur yang sudah merawat atau yang sudah berjuang sampai (pusaka) sesaat ini,” terangnya.

Jaga Ikatan dengan Leluhur Melalui Tradisi

Dia mengatakan, pentingnya menjaga hubungan dengan leluhur melalui tradisi. Termasuk tradisi jamasan benda pusaka di Istana Tijani Nusantara. Dengan menjaga hubungan dengan leluhur ini, maka masyarakat atau kelompok akan mudah kehilangan identitas. Demikian juga dengan asal usul mereka dan kebesaran bangsa mereka.

“Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati leluhurnya. Karena apa? Karena ketika kita sudah lupa dengan leluhur, maka kita akan dijajah baik itu dijajah secara budaya dijajah spiritual maupun dijajah secara intelektual,” terangnya.

Dia mencontohkan, penggunaan blangkon atau baju seperti abdi dalem keraton. Sekarang, baju seperti ini dinamai baju dukun. Penamaan ini tentu sudah salah kaprah dan justru mengasingkan pemakai dan juga baju tradisional.

“Padahal ini baju baju ini filosofinya juga luar biasa dari kepala blangkon itu simbol ada 17 pelepetan 17 rakaat kita salat di sini ada,” kata dia.

Dia lalu menyayangkan anak muda yang mulai melupakan tradisi dan nilai luhur. Lalu dia mengajak anak muda untuk kembali merawat tradisi. Sekaligus bisa memahami nilai dan makna dari tiap tradisi tersebut.

“Banyak lagi sebenarnya tradisi-tradisi kita yang sekarang sudah hampir dilupakan oleh anak anak muda sekarang. Ayo kita kembalikan lagi tradisi kita tanpa membenci atau menyudutkan agama apapun,” tegasnya. (*)