JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak DPR RI dan Pemerintah segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bersamaan dengan RKUHAP.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menilai DPR dan pemerintah harus membahas kedua RUU secara beriringan karena keduanya saling berkaitan. DPR dan pemerintah juga harus memisahkan keduanya dengan tepat.
Wana mengatakan, “DPR dan pemerintah harus membahas RUU Perampasan Aset dan RKUHAP secara bersamaan. Jika DPR dan pemerintah memisahkan RUU, aturan itu berpotensi tumpang tindih. Akibatnya, aparat dan masyarakat akan menghadapi ketidakpastian hukum.”
Wana mengingatkan bahwa Presiden Prabowo dan pimpinan DPR sudah berulang kali menyatakan komitmen untuk membahas RUU Perampasan Aset, termasuk saat kampanye dan peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025. Namun, DPR dan pemerintah menunda pembahasan dengan alasan menunggu rampungnya RKUHAP.
“Publik sudah lama mendesak DPR dan pemerintah agar tidak menunda pembahasan. Menunggu RKUHAP justru memperpanjang ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Pembahasan Bersama RUU Perampasan Aset dan RKUHAP
Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan DPR sering mengesampingkan RUU Perampasan Aset dari prioritas politik. Wana menyebut, meski RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2023, DPR tidak melakukan pembahasan hingga Pemilu 2024.
“Baru pada 2025 DPR kembali membahas RUU Perampasan Aset setelah tarik-ulur panjang. Jangan sampai DPR mengabaikan pembahasan tahun ini,” tegas Wana.
Wana menekankan DPR harus membahas RUU Perampasan Aset secara terbuka, transparan, dan partisipatif. Ia meminta DPR tidak terburu-buru, tapi juga tidak menunda terlalu lama.
“Kalau DPR membahas RUU Perampasan Aset secara serampangan, aturan itu justru akan menguntungkan elit tertentu dan kehilangan esensi utama, yaitu pemulihan aset hasil tindak pidana,” ucapnya.
Wana juga menekankan DPR harus menyinkronkan aturan RUU Perampasan Aset dengan RKUHAP karena ada isu substansial yang saling bersinggungan, seperti kewenangan aparat, status aset hasil tindak pidana, mekanisme penyitaan, dan sistem pembuktian.
“Jika DPR tidak membahas kedua RUU bersamaan, besar kemungkinan terjadi konflik norma yang membingungkan aparat dan masyarakat,” jelas Wana.
ICW juga menyoroti isu penting yang harus diperhatikan DPR, termasuk pengaturan unexplained wealth, ambang batas aset yang dapat dirampas, mekanisme upaya paksa, dan pengawasan agar DPR dan aparat tidak melanggar hak asasi manusia.
“RUU Perampasan Aset tidak hanya soal memidana pelaku, tapi juga menyangkut hak kepemilikan warga. Wana menegaskan DPR harus memastikan mekanisme pengawasan ketat agar aparat tidak melanggar hak konstitusional warga.
ICW mendorong DPR memperkuat sistem pembuktian terbalik dalam RUU Perampasan Aset untuk mempermudah proses perampasan aset, terutama dalam kasus dugaan korupsi.
“Pembuktian terbalik sudah lama menjadi diskursus dan sangat relevan dalam pemberantasan korupsi. Jika DPR tidak mengaturnya dengan tegas, aparat dan pemerintah akan kesulitan memulihkan aset,” urai Wana.
Lebih lanjut, Wana mendesak DPR dan pemerintah memanfaatkan sisa waktu hingga akhir 2025 untuk membahas kedua RUU. Ia menegaskan legislasi ini harus lahir demi kepentingan publik.
“Kalau DPR dan pemerintah serius, mereka harus membahas RUU Perampasan Aset dan RKUHAP secara bersamaan tahun ini. Jangan sampai publik kembali kecewa,” pungkasnya. (*)